Senin, 11 Januari 2016

Kebijakan Membangun Kemandirian Suatu Negara


Setiap pemilihan presiden baru dan pergantian pemerintahan selalu terjadi persoalan terkait beban defisit APBN. Masalah yang kerap disorot adalah besarnya angka subsidi BBM. Memang subsidi BBM telah menjadi momok yang menakutkan bagi keuangan negara. Besaran angka subsidi yang terus membengkak membuat beban keuangan pemerintah menjadi berat. Apalagi kebutuhan energi di dalam negeri terus meningkat dan harga minyak dunia kerap bergerak naik. Hal ini membuat realisasi pengeluaran selalu lebih besar. Contohnya pada tahun 2010 besaran subsidi BBM di APBN diperkirakan sekitar 26,3 triliun. Namun realisasinya ternyata sebesar 82,4 triliun. Terjadi lonjakan sebesar 213 %. Demikian pula di tahun 2012 (APBN 124 triliun dan realisasi 212 triliun). Hampir setiap tahun persoalan ini terus berulang. Dalam APBN tahun 2013 juga terjadi pembengkakan anggaran sebesar 105,1 persen menjadi 210 triliun. Memang di tahun 2014 kita sedikit tertolong karena harga minyak dunia turun, sehingga besaran subsidi BBM dapat mencapai 97,6 % dari target. Tetapi besar anggaran subsidi BBM saat itu sudah berkisar 240 triliun.

Tahun ke tahun besaran subsidi ini terus membesar. Hal ini membuat siapa saja yang duduk di pemerintahan harus menanggung bola panas. Mereka berada dalam dilema. Untuk melanjutkan pembangunan mereka memerlukan dana, namun dana yang tersedia terpakai untuk subsidi. Cara yang paling mudah mengatasinya ialah dengan memotong beban biaya subsidi tersebut. Untuk itu pemerintah terpaksa mengambil kebijakan yang tidak populer menaikkan harga BBM. Padahal kebijakan ini menimbulkan dampak yang besar karena barang dan jasa naik, inflasi pun menjadi tinggi sehingga beban masyarakat bertambah.

Persoalan energi merupakan masalah penting yang harus ditangani setiap negara di dunia. Energi merupakan kebutuhan vital yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Agar energi tersebut bisa terjangkau masyarakat umum, pemerintah terpaksa memberi subsidi. Tanpa adanya subsidi, inflasi akan tinggi dan beban masyarakat juga bertambah berat. Namun celakanya meskipun peran energi vital, selama ini kita selalu tergantung  pada energi impor. Parahnya lagi, konsumsi energi yang berasal dari impor migas mencapai 69 % dari total konsumsi energi nasional. Hal inilah yang menjadikan beban keuangan negara berat. Ironisnya, sebenarnya negara kita memiliki berbagai sumber energi yang potensial. Kita punya gas alam, batu bara, panas bumi, matahari, ombak, dan lahan yang sangat luas untuk dibangun sumber energi alternatif biodiesel. Namun sampai saat ini, kita cendrung mengabaikan potensinya. Sebagai gambaran, data dari badan Geologi kementerian ESDM menunjukkan kita memiliki potensi panas bumi sekitar 28.910 MW. Namun dari jumlah tersebut yang dimanfaatkan hanya 4,9% atau sebesar 1.403,5 MW.
Kita sering menggembar-gemborkan untuk mencintai produk dalam negeri karena dengan mencintai produk dalam negeri kita dapat membangun ketahanan ekonomi yang berbasis pada kekuatan sendiri. Namun dalam masalah vital seperti energi, kita justru memilih jalan pintas dengan bergantung pada energi impor. Padahal sumber energi tersebut memiliki tingkat harga yang labil dan pemakaiannya di dalam negeri juga terus meningkat. Coba bayangkan jika suatu waktu terjadi pergolakan, penurunan produksi, atau penambahan permintaan. Dan harga minyak kembali menembus di atas USD 120 per-barel.  Bagaimana dampaknya pada ekonomi negara kita? Apakah kita dapat bertindak menyesuaikan harga BBM dengan harga pasar? Bagaimana dampak hal ini bagi keuangan pemerintah, inflasi, daya saing sektor industri maupun sektor lainnya.

Sebenarnya Indonesia memiliki minyak bumi dan pernah menjadi negara pengekspor minyak. Namun dengan alasan kualitas minyak kita bagus dan harganya lebih mahal, kita mengekspornya besar-besaran. Kita tidak memperhitungkan kebutuhan masa depan. Sekarang untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, kita terpaksa mengimpor BBM. Dari dulu kita tidak mau betindak memanfaatkan kekayaan tersebut dengan membangun kilang minyak yang sangat berguna dalam menunjang kebutuhan energi nasional. Kita malah berbangga dengan ekspor migas dan memilih bergantung pada BBM impor. Akibatnya kini kita mengalami krisis energi. Semua ini terjadi karena kita memilih cara yang gampang. Kita tidak mau membangun kekuatan untuk berdikari, tetapi kita memilih mengimpor BBM dan tergantung kepada pasokannya. Hal yang serupa terus berulang. Sekarang ini, kita lebih tertarik untuk mengekspor gas alam, batu bara, dan hasil tambang lainnya secara besar-besaran dibanding mengelola atau memanfaatkannya sendiri.

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishaq pernah menyatakan : “Saya nggak mau Kaltim industrinya kayak Lhokseumawe, gas habis (Kilang Arun) industrinya jadi tutup. Saya nggak mau Bontang kayak Lhokseumawe," Awang tidak mau daerahnya seperti Lhokseumawe. Daerah yang dulunya kaya gas namun kini industrinya malah mengalami kekurangan pasokan gas. Sementara rakyatnya juga masih banyak yang miskin. Bung Karno juga mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita memang harus belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, karena Bangsa yang besar adalah Bangsa yang belajar dari sejarah. Semua itu terjadi karena kita mencari jalan yang mudah. Seandainya kita terus bergantung pada impor migas tanpa tindakan nyata untuk memanfaatkan potensi energi nasional. Atau kita tetap bertindak menjual kekayaan alam kita ke luar, maka kita akan berhadapan dengan bom waktu. Kondisi yang selama ini terjadi akan terus terulang, pemerintah akan menghadapi kesulitan keuangan karena pendapatannya terkuras untuk membayar subsidi BBM. Sementara itu kekayaan alam kita juga terkikis habis karena hasilnya telah dijual untuk membiayai pengeluaran negara kita.

Jika kita menyadari semua ini, kita akan mengerti kalau Indonesia sulit meraih  kemandirian ekonomi jika kita tidak berubah. Kita harus bertindak sebagai bangsa pengelola kekayaan alam kita. Untuk itu, kita perlu segera mewujudkan kemandirian energi dengan mngoptimalkan pengelolaan potensi energi yang kita miliki. Sebab negara kita sangat kaya dengan sumber energi alternatif. Kita memiliki sumber geothermal terbesar di dunia, lahan dan daerah pesisir untuk ditanami kemiri sunan dan rumput laut sebagai bahan biodiesel, panas matahari, ombak, bahkan angin. Kita juga memiliki cadangan batu bara, gas yang besar bahkan minyak. Mengapa kita mengabaikannya dan puas dengan menjual aset-aset berharga kita. Padahal kita tau, suatu saat kita memerlukannya. Jika saja kita bisa memanfaatkan dan mengolahnya, maka kita akan dapat mengurangi impor atau besaran subsidi BBM yang selama ini kita keluarkan. Tidak itu saja, masyarakat dan industri juga akan mendapat keuntungan berupa pasokan energi yang melimpah. Bahkan sumber energi tersebut dapat menjadi nilai tambah bagi industri dalam negeri. Sebab pengelolaan energi berbasis kekayaan alam membuat kita mampu menyediakan energi dengan harga yang stabil dan murah. Hal ini akan membantu pengendalian inflasi juga mendukung sektor industri dan jasa dalam bersaing. Selain itu, beban subsidi yang selama ini menggerogoti pemerintah juga teratasi. Dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan sarana, prasarana, juga sektor-sektor produktif lainnya.

Seperti energi, demikian pula halnya dengan pengelolaan kekayaan alam lainnya. Selama ini kita sulit mandiri karena selalu menjual mentah hasil kekayaan alam kita. Kemudian membeli lagi produk olahannya. Jika kita ingin serius membangun kemandirian ekonomi, kita perlu membangun industri unggulan yang berbasis pada kekayaan alam milik kita. Bayangkan, harga mentah bauksit berkisar USD 30–35, jika diolah menjadi alumina harganya sekitar USD 350.  Jika alumina diolah lagi menjadi almunium akan berharga USD 2.000. Selama ini kita puas dengan menjual bauksit dan membeli almunium olahannya. Demikian halnya dengan kekayaan tambang lainnya seperti nikel, bijih besi, pasir besi, batu bara, timah, emas, dan tembaga. Kita harus berhenti menjual bahan mentah kita. Kita perlu mengolahnya sendiri dan menjual produk olahannya karena nilai tambahnya sangat besar. Sama halnya dengan kekayaan alam kita yang lain seperti hasil perkebunan, hutan, dan laut, kita perlu berdikari dengan menciptakan industri pengolahannya. Kita harus merubah sikap kita dengan bertindak sebagai bangsa pekerja dan pengelola. Seperti dalam dongeng semut dan jangkrik. Saat cuaca cerah, semut bekerja dan jangkrik bersenang-senang. Ketika musim hujan tiba dan bahan makanan menjadi sulit. Jangkrik menderita kelaparan namun semut bisa mengatasinya. Karena semut pekerja keras yang telah mempersiapkan diri menghadapi masa yang sulit di depan. Kita harus berubah menjadi bangsa pekerja seperti semut.

Jika kita hanya menjadi bangsa penjual kekayaan alam mentah, kita tidak akan berhasil membangun kemandirian ekonomi. Kita hanya menjadi negara kaya yang miskin. Untuk bisa menjadi negara yang kuat dan disegani, kita perlu serius membangun kemandirian ekonomi dengan mengolah seluruh potensi kekayaan alam negeri kita. Sebab hal inilah yang menjadi modal dasar untuk bisa bersaing dengan negara-negara lain. Jika kita tidak segera memulainya, di era perdagangan bebas ini, kekayaan alam kita justru akan dikuasai asing. Oleh karena itu, Indonesia harus segera bertindak membangun program ketahanan energi nasional. Bekerjasama dengan pihak asing yang mau sejalan dengan kebijakan kita. Kita perlu mengirim semua putra-putri terbaik untuk belajar mengenai industri pengolahan berbasis kekayaan alam negeri kita. Dengan cara ini, kita secara bertahap dapat membangun industri unggulan yang ditunjang kekayaan alam kita. Industri ini akan mampu menciptakan produk yang memiliki daya saing di dunia internasional, karena produk kita memiliki keunggulan komperatif dibanding produk sejenis dari negara lain. Berdasarkan hal inilah, barulah kita dapat meraih kemandirian ekonomi yang kita cita-citakan bersama.

Sumber : 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar