Setiap pemilihan presiden
baru dan pergantian pemerintahan selalu terjadi persoalan terkait beban defisit
APBN. Masalah yang kerap disorot adalah besarnya angka subsidi BBM. Memang
subsidi BBM telah menjadi momok yang menakutkan bagi keuangan negara. Besaran
angka subsidi yang terus membengkak membuat beban keuangan pemerintah menjadi
berat. Apalagi kebutuhan energi di dalam negeri terus meningkat dan harga
minyak dunia kerap bergerak naik. Hal ini membuat realisasi pengeluaran selalu
lebih besar. Contohnya pada tahun 2010 besaran subsidi BBM di APBN diperkirakan
sekitar 26,3 triliun. Namun realisasinya ternyata sebesar 82,4 triliun. Terjadi
lonjakan sebesar 213 %. Demikian pula di tahun 2012 (APBN 124 triliun dan
realisasi 212 triliun). Hampir setiap tahun persoalan ini terus berulang. Dalam
APBN tahun 2013 juga terjadi pembengkakan anggaran sebesar 105,1 persen menjadi
210 triliun. Memang di tahun 2014 kita sedikit tertolong karena harga minyak
dunia turun, sehingga besaran subsidi BBM dapat mencapai 97,6 % dari target.
Tetapi besar anggaran subsidi BBM saat itu sudah berkisar 240 triliun.
Tahun
ke tahun besaran subsidi ini terus membesar. Hal ini membuat siapa saja yang
duduk di pemerintahan harus menanggung bola panas. Mereka berada dalam dilema.
Untuk melanjutkan pembangunan mereka memerlukan dana, namun dana yang tersedia
terpakai untuk subsidi. Cara yang paling mudah mengatasinya ialah dengan
memotong beban biaya subsidi tersebut. Untuk itu pemerintah terpaksa mengambil
kebijakan yang tidak populer menaikkan harga BBM. Padahal kebijakan ini
menimbulkan dampak yang besar karena barang dan jasa naik, inflasi pun menjadi
tinggi sehingga beban masyarakat bertambah.
Persoalan
energi merupakan masalah penting yang harus ditangani setiap negara di dunia.
Energi merupakan kebutuhan vital yang sangat diperlukan dalam kehidupan
masyarakat. Agar energi tersebut bisa terjangkau masyarakat umum, pemerintah
terpaksa memberi subsidi. Tanpa adanya subsidi, inflasi akan tinggi dan beban
masyarakat juga bertambah berat. Namun celakanya meskipun peran energi vital,
selama ini kita selalu tergantung pada energi impor. Parahnya lagi,
konsumsi energi yang berasal dari impor migas mencapai 69 % dari total konsumsi
energi nasional. Hal inilah yang menjadikan beban keuangan negara berat. Ironisnya,
sebenarnya negara kita memiliki berbagai sumber energi yang potensial. Kita
punya gas alam, batu bara, panas bumi, matahari, ombak, dan lahan yang sangat
luas untuk dibangun sumber energi alternatif biodiesel. Namun sampai saat ini,
kita cendrung mengabaikan potensinya. Sebagai gambaran, data dari badan Geologi
kementerian ESDM menunjukkan kita memiliki potensi panas bumi sekitar 28.910
MW. Namun dari jumlah tersebut yang dimanfaatkan hanya 4,9% atau sebesar
1.403,5 MW.
Kita
sering menggembar-gemborkan untuk mencintai produk dalam negeri karena dengan
mencintai produk dalam negeri kita dapat membangun ketahanan ekonomi yang
berbasis pada kekuatan sendiri. Namun dalam masalah vital seperti energi, kita
justru memilih jalan pintas dengan bergantung pada energi impor. Padahal sumber
energi tersebut memiliki tingkat harga yang labil dan pemakaiannya di dalam
negeri juga terus meningkat. Coba bayangkan jika suatu waktu terjadi
pergolakan, penurunan produksi, atau penambahan permintaan. Dan harga minyak
kembali menembus di atas USD 120 per-barel. Bagaimana dampaknya pada
ekonomi negara kita? Apakah kita dapat bertindak menyesuaikan harga BBM dengan
harga pasar? Bagaimana dampak hal ini bagi keuangan pemerintah, inflasi, daya
saing sektor industri maupun sektor lainnya.
Sebenarnya
Indonesia memiliki minyak bumi dan pernah menjadi negara pengekspor minyak.
Namun dengan alasan kualitas minyak kita bagus dan harganya lebih mahal, kita
mengekspornya besar-besaran. Kita tidak memperhitungkan kebutuhan masa depan.
Sekarang untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, kita terpaksa mengimpor
BBM. Dari dulu kita tidak mau betindak memanfaatkan kekayaan tersebut dengan
membangun kilang minyak yang sangat berguna dalam menunjang kebutuhan energi
nasional. Kita malah berbangga dengan ekspor migas dan memilih bergantung pada
BBM impor. Akibatnya kini kita mengalami krisis energi. Semua ini terjadi
karena kita memilih cara yang gampang. Kita tidak mau membangun kekuatan untuk
berdikari, tetapi kita memilih mengimpor BBM dan tergantung kepada pasokannya.
Hal yang serupa terus berulang. Sekarang ini, kita lebih tertarik untuk
mengekspor gas alam, batu bara, dan hasil tambang lainnya secara besar-besaran
dibanding mengelola atau memanfaatkannya sendiri.
Gubernur
Kalimantan Timur Awang Faroek Ishaq pernah menyatakan : “Saya nggak mau Kaltim
industrinya kayak Lhokseumawe, gas habis (Kilang Arun) industrinya jadi tutup.
Saya nggak mau Bontang kayak Lhokseumawe," Awang tidak mau daerahnya
seperti Lhokseumawe. Daerah yang dulunya kaya gas namun kini industrinya malah
mengalami kekurangan pasokan gas. Sementara rakyatnya juga masih banyak yang
miskin. Bung Karno juga mengatakan jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kita
memang harus belajar dari pengalaman yang pernah terjadi, karena Bangsa yang
besar adalah Bangsa yang belajar dari sejarah. Semua itu terjadi karena kita
mencari jalan yang mudah. Seandainya kita terus bergantung pada impor migas
tanpa tindakan nyata untuk memanfaatkan potensi energi nasional. Atau kita
tetap bertindak menjual kekayaan alam kita ke luar, maka kita akan berhadapan
dengan bom waktu. Kondisi yang selama ini terjadi akan terus terulang,
pemerintah akan menghadapi kesulitan keuangan karena pendapatannya terkuras
untuk membayar subsidi BBM. Sementara itu kekayaan alam kita juga terkikis
habis karena hasilnya telah dijual untuk membiayai pengeluaran negara kita.
Jika
kita menyadari semua ini, kita akan mengerti kalau Indonesia sulit meraih
kemandirian ekonomi jika kita tidak berubah. Kita harus bertindak sebagai
bangsa pengelola kekayaan alam kita. Untuk itu, kita perlu segera mewujudkan
kemandirian energi dengan mngoptimalkan pengelolaan potensi energi yang kita
miliki. Sebab negara kita sangat kaya dengan sumber energi alternatif. Kita
memiliki sumber geothermal terbesar di dunia, lahan dan daerah pesisir untuk
ditanami kemiri sunan dan rumput laut sebagai bahan biodiesel, panas matahari,
ombak, bahkan angin. Kita juga memiliki cadangan batu bara, gas yang besar
bahkan minyak. Mengapa kita mengabaikannya dan puas dengan menjual aset-aset
berharga kita. Padahal kita tau, suatu saat kita memerlukannya. Jika saja kita
bisa memanfaatkan dan mengolahnya, maka kita akan dapat mengurangi impor atau
besaran subsidi BBM yang selama ini kita keluarkan. Tidak itu saja, masyarakat dan
industri juga akan mendapat keuntungan berupa pasokan energi yang melimpah.
Bahkan sumber energi tersebut dapat menjadi nilai tambah bagi industri dalam
negeri. Sebab pengelolaan energi berbasis kekayaan alam membuat kita mampu
menyediakan energi dengan harga yang stabil dan murah. Hal ini akan membantu
pengendalian inflasi juga mendukung sektor industri dan jasa dalam bersaing.
Selain itu, beban subsidi yang selama ini menggerogoti pemerintah juga
teratasi. Dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan sarana, prasarana,
juga sektor-sektor produktif lainnya.
Seperti
energi, demikian pula halnya dengan pengelolaan kekayaan alam lainnya. Selama
ini kita sulit mandiri karena selalu menjual mentah hasil kekayaan alam kita.
Kemudian membeli lagi produk olahannya. Jika kita ingin serius membangun
kemandirian ekonomi, kita perlu membangun industri unggulan yang berbasis pada
kekayaan alam milik kita. Bayangkan, harga mentah bauksit berkisar USD 30–35,
jika diolah menjadi alumina harganya sekitar USD 350. Jika alumina diolah
lagi menjadi almunium akan berharga USD 2.000. Selama ini kita puas dengan
menjual bauksit dan membeli almunium olahannya. Demikian halnya dengan kekayaan
tambang lainnya seperti nikel, bijih besi, pasir besi, batu bara, timah, emas,
dan tembaga. Kita harus berhenti menjual bahan mentah kita. Kita perlu
mengolahnya sendiri dan menjual produk olahannya karena nilai tambahnya sangat
besar. Sama halnya dengan kekayaan alam kita yang lain seperti hasil
perkebunan, hutan, dan laut, kita perlu berdikari dengan menciptakan industri
pengolahannya. Kita harus merubah sikap kita dengan bertindak sebagai bangsa
pekerja dan pengelola. Seperti dalam dongeng semut dan jangkrik. Saat cuaca
cerah, semut bekerja dan jangkrik bersenang-senang. Ketika musim hujan tiba dan
bahan makanan menjadi sulit. Jangkrik menderita kelaparan namun semut bisa
mengatasinya. Karena semut pekerja keras yang telah mempersiapkan diri
menghadapi masa yang sulit di depan. Kita harus berubah menjadi bangsa pekerja
seperti semut.
Jika
kita hanya menjadi bangsa penjual kekayaan alam mentah, kita tidak akan
berhasil membangun kemandirian ekonomi. Kita hanya menjadi negara kaya yang
miskin. Untuk bisa menjadi negara yang kuat dan disegani, kita perlu serius
membangun kemandirian ekonomi dengan mengolah seluruh potensi kekayaan alam
negeri kita. Sebab hal inilah yang menjadi modal dasar untuk bisa bersaing
dengan negara-negara lain. Jika kita tidak segera memulainya, di era
perdagangan bebas ini, kekayaan alam kita justru akan dikuasai asing. Oleh
karena itu, Indonesia harus segera bertindak membangun program ketahanan energi
nasional. Bekerjasama dengan pihak asing yang mau sejalan dengan kebijakan
kita. Kita perlu mengirim semua putra-putri terbaik untuk belajar mengenai
industri pengolahan berbasis kekayaan alam negeri kita. Dengan cara ini, kita
secara bertahap dapat membangun industri unggulan yang ditunjang kekayaan alam
kita. Industri ini akan mampu menciptakan produk yang memiliki daya saing di
dunia internasional, karena produk kita memiliki keunggulan komperatif
dibanding produk sejenis dari negara lain. Berdasarkan hal inilah, barulah kita
dapat meraih kemandirian ekonomi yang kita cita-citakan bersama.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar